Bismillah,
Berikut ada tambahan untuk edisi cetak buku HHMK berkaitan dengan
BPJS kesehata. Perlu difahami bahwa tulisan ini sebagimana kondisi pada
saat tulisan ini dibuat. (16-Ramadhan-1436H/Juli 2015)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Kesehatan)
Jaminan kesehatan merupakan hak setiap warga negara. Oleh karena itu,
pembiayaan kesehatan yang dikeluarkan oleh setiap warga negara
seharusnya menjadi tanggung jawab negara (pemerintah).
Dalam kondisi keuangan negara belum mampu menanggung seluruh biaya
kesehatan rakyatnya maka pemerintah (negara) dibolehkan memungut dari
sebagian warga yang mampu untuk membantu warga yang tidak mampu dan
sangat tidak bijak jika negara memungut dari warga yang tidak mampu.
Hal ini berlandaskan dalil Al Quran :
) وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ (
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran (Al Maidah : 2).
Juga berdasarkan Hadist Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
(( وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ ))
Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya (HR Muslim)
Jika di Indonesia jaminan ini baru diterapkan, namun di beberapa
negara Islam jaminan ini telah banyak dipraktekkan yang dalam bahasa
arab disebut dengan Dhaman Ijtimai’ (ضمان اجتماعي).
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) merupakan lembaga yang
dibentuk oleh negara untuk menyelenggarakan Program Jaminan Sosial di
Indonesia berdasarkan UU No. 40 tahun 2004 dan UU No. 24 tahun 2011.
BPJS mulai bekerja pada Januari 2014.
BPJS adalah program pemerintah untuk menjamin kesehatan,
menjadikannya murah dan terjangkau yang sebenarnya merupakan asuransi
jiwa. Oleh karena itu hukumnya mengacu kepada hukum asuransi.
Secara prinsip, BPJS sama seperti asuransi takaful dimana akadnya adalah akad hibah, dan gharar dalam akad hibah diperbolehkan. Sehingga secara prinsip kerja BPJS sesuai syariah, dimana akadnya adalah hibah sesama warga negara Indonesia dengan tujuan saling tolong menolong.
Selain itu BPJS hanya sebagai pengelola yang ditunjuk Negara dengan
dana operasional yang ditetapkan setiap tahunnya, sehingga jika ada
kelebihan dana yang dikumpulkan dari masyarakat maka dana akan
dikembalikan ke Negara, dan jika ada kekurangan dana akan ditutupi oleh
Negara, dan bukan pihak kedua yang diuntungkan atau dirugikan akibat
klaim dari peserta sebagaimana layaknya asuransi konvensional yang
diharamkan.
Namun, kondisi BPJS dalam prakteknya pada saat ini masih ditemukan
hal-hal yang bertentangan dengan syariat, diantaranya sebagai berikut:
- Merupakan bentuk asuransi konvesional dengan memungut premi dan memberikan jasa pelayanan kesehatan berdasarkan premi tersebut. Terkadang beberapa rumah sakit mempersulit pasien yang berobat dengan menggunakan BPJS sehingga tidak sesuai dengan tuntunan syariah.
- Pengumpulan dana masih menggunakan bank custodian konvensional. Selama itu, dana yang terkumpul dari masyarakat akan diputar dan dikembangkan oleh bank konvensional dengan berbagai produknya yang ribawi. Tentunya hal ini termasuk tolong-menolong dalam pengembangan riba.
- Sistem pembayaran dari BPJS kepada rumah sakit, klinik dan praktek dokter dengan cara kapitasi yang mengandung unsur gharar tingkat tinggi. Dimana BPJS mematok nominal tertentu untuk rumah sakit. Baik pasien berobat ke rumah sakit yang ditunjuk banyak jumlahnya ataupun sedikit. Andai pemegang BPJS yang berobat ke rumah sakit tersebut berjumlah banyak dapat dipastikan rumah sakit tersebut akan mengalami kerugian dan sebaliknya.
- Adanya denda keterlambatan pembayaran angsuran sebesar 2% per bulan yang dikenakan kepada peserta mandiri yang terlambat membayar premi sesuai dengan ketentuan waktu yang telah ditetapkan. Hal ini, jelas termasuk unsur riba yang dipraktekkan oleh orang jahiliyyah yang dikenal dengan (أنظرني أزدك ) yang berarti “Beri aku masa tenggang niscaya akan aku tambah pembayaran utangku“.
Tanggapan:
Adanya gharar dalam pelunasan BPJS kepada penyelenggara
kesehatan tidak merusak akad. Karena gharar yang terdapat dalam hal ini
nisbahnya sedikit dengan cara pihak BPJS mengelompokkan rumah sakit
penerima dana BPJS kepada beberapa kelas. Dengan demikian unsur gharar
dalam hal ini bisa diminimalkan. Dan gharar yang minimal sepakat
dibolehkan oleh para ulama.
Al Qarafi berkata, “Gharar dalam ba’i (akad jualbeli) ada 3 macam: Gharar
yang nisbahnya dalam akad relatif besar maka gharar ini membatalkan
keabsahan akad, seperti: menjual burung di angkasa. Gharar yang
nisbahnya dalam akad relatif kecil maka tidak membatalkan akad dan
hukumnya mubah, seperti ketidak-jelasan pondasi rumah atau
ketidak-jelasan jenis benang qamis yang dibeli. Gharar yang nisbahnya
dalam akad pertengahan, hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Apakah
boleh atau tidak“ [1].
Untuk menentukan keadilan kapitasi yang menjadikan kedua belah pihak
(BPJS dan penyelenggara kesahatan) tidak terdzolimi hendaklah ditentukan
oleh pihak ke-3 yang indenpenden dan adil.
Wallahu a’lam, jika hal tersebut dilakukan maka gharar yang
terdapat pada pembayaran BPJS atas pelayanan yang diberikan rumah sakit
kepada peserta BPJS dengan sistem kapitasi menjadi kecil, dan gharar
yang nisbahnya kecil dibolehkan sebagaimana yang telah dijelaskan.
Akan tetapi, adanya riba denda keterlambatan pembayaran premi BPJS
oleh peserta menyebabkan hukum mengikuti BPJS secara syar’i
dikelompokkan sebagai berikut :
- Peserta Bantuan Iuran (PBI) yang dikhususkan untuk orang miskin. Bagi orang miskin BPJS murni gratis tanpa premi sehingga untuk kategori ini diperbolehkan mengikuti BPJS. Karena tidak mungkin akan terjadi denda keterlambatan, dimana mereka tidak memberikan premi terlebih lagi denda keterlambatan.
- Non-PBI yang diperuntukkan bagi PNS/Polri/TNI, organisasi dan institusi. Dimana, sebagian iuran ditanggung kantor/institusi dan sebagian lagi ditanggung oleh peserta.
Bagi peserta yang preminya tidak dipotong dari gaji masih
diperbolehkan mengikuti BPJS kesehatan ini karena tidak mungkin terjadi
denda keterlambatan atau jika terjadi bukan menjadi tanggung jawab
peserta melainkan menjadi risiko instansi atau perusahaan. Dan akad
keikutsertaan adalah hibah dari perusahaan.
Namun, jika iuran premi dipotong dari gaji maka haram hukumnya
mengikuti BPJS dimana denda keterlambatan akan ditanggung oleh peserta.
Pada saat itu, yang terjadi adalah akad yang mengandung unsur riba.
- Peserta iuran mandiri, yang tidak dibayarkan oleh negara maupun instansi, maka bagi golongan ini haram hukumnya mengikuti BPJS selama masih ada aturan denda keterlambatan, karena ini murni riba jahiliyyah.
Dalam kondisi, dimana pemerintah mewajibkan seluruh warga negara
untuk mengikuti BPJS dan jika seorang warga negara tidak mengikutinya
maka hak-haknya sebagai warga negara tidak akan dipenuhi oleh Negara,
seperti; tidak akan mendapat pelayanan publik maka pada saat itu tidak
mengapa seorang warga negara menjadi peserta BPJS karena terpaksa,
sekalipun dia peserta golongan III yaitu peserta iuran mandiri.
Dalam hal ini hukum menjadi peserta BPJS sama dengan membayar
asuransi jiwa yang sudah termasuk ke dalam harga tiket pesawat dan
transportasi massal lainnya yang tidak dapat dielakkan.
Akan tetapi, ketika terjadi risiko yang dipertanggungkan dan pihak
BPJS memberikan pelayanan kesehatan melalui rumah sakit – rumah sakit
yang bekerja sama dengan BPJS maka tidak halal bagi anggota yang mampu
menikmati fasilitas pelayanan kesehatan melebihi premi yang ia bayar
karena akadnya mengandung gharar dan riba.
Maka cara bertaubat dari dosa ini selain meminta ampunan Allah juga
dengan mengeluarkan selisih antara nominal premi yang dia bayar dengan
pelayanan kesehatan yang dia dapatkan lalu disedekahkan kepada
fakir-miskin.
Bagi peserta yang memang tidak mampu dan penyakit yang dideritanya
termasuk penyakit berbahaya maka dia boleh menikmati pelayanan kesehatan
melebihi premi yang dibayarnya. Karena riba dihalalkan bagi fakir
miskin untuk menutupi kebutuhan pokoknya[2].
Semoga pemerintah dapat menghapuskan persyaratan denda bagi peserta
yang terlambat membayar premi dan mencari solusi lain, seperti adanya
penghentian keanggotaan jika tidak membayar premi selama 3 bulan (untuk
perusahaan) atau 6 bulan (untuk perorangan) sudah cukup untuk membuat
masyarakat lebih disiplin. Waalahu ‘alam.
Kota Wisata, 19 Ramadhan 1436 H
[1] Al furuuq, jilid.III, hal 265.
[2] Dr. Sa’ad Al Khatslan, Fiqh Muamalat Maaliyyah Muashirah, hal 175-177.
Untuk mengunduh klik disini bpjs-19-ramadhan-36h